Football5Star.com, Indonesia – Legenda besar Portugal dan Benfica, Eusebio menemukan seorang anak berusia 5 tahun di pinggiran Lisbon dan langsung dimasukkan ke dalam tim muda Benfica. Dia adalah Rui Manuel Cesar Costa, yang akrab dikenal dengan nama Rui Costa.
Pertemuannya dengan Eusebio saat usianya masih sangat dini menjadi titik awal karier sepak bolanya yang gemilang.
Costa berkembang di akademi Benfica dan langsung dipinjamkan ke tim divisi kedua Portugal, Fafe pada 1990 sebelum dia bermain untuk tim utama Benfica. Saat itu usianya masih 18 tahun.
Bermain sebagai playmaker, Costa merupakan classic no.10 yang sering bemain di belakang penyerang. Permainannya yang elegan, pintar dan memiliki visi permainan yang baik membuatnya menjadi pemain yang diidamkan oleh para penyerang.
Tak butuh waktu lama, hanya setahun dipinjamkan ke Fafe, Costa langsung menjadi pemain inti bersama Benfica di usianya yang bahkan belum genap 20 tahun.
Duetnya bersama Joao Pinto menghasilkan gelar Liga Portugal pada musim 1993-94. Namun ternyata itu adalah musim terakhir Costa bersama Benfica.
Benfica mengalami kesulitan finansial yang membuat mereka harus menjual beberapa pemainnya, salah satunya Costa.
Kabarnya, Costa menolak tawaran dari Johan Cruyff-nya Barcelona dan lebih memilih pindah ke tim promosi Serie A, Fiorentina yang memiliki tawaran lebih besar untuk membantu finansial Benfica. Keputusannya itu terbukti jitu.
Rui Costa-Gabriel Batistuta
Fiorentina tak pernah benar-benar menjadi tim papan atas di Italia sejak era keemasannya pada era 50-an. La Viola lebih sering berkutat di papan tengah sampai akhirya secara mengejutkan terdegradasi pada musim 1992-93. Namun mereka langsung berhasil promosi setahun kemudian sebagai juara Serie B.
Dan setelah itu, semuanya berbeda. La Viola sudah memiliki penyerang menyeramkan dalam diri Gabriel Batistuta, dan mereka menemukan rekan duet yang cocok dalam diri Rui Costa.
Dampak pemain Portugal itu instan, dia menyuntikkan dinamika baru ke dalam serangan La Viola asuhan pelatih Claudio Ranieri.
Chemistry keduanya berjalan dengan cepat dan membentuk salah satu duo ikonik dalam sejarah sepak bola, nomor 9 dan nomor 10 yang komplet.
“Kami (dengan Batistuta) teman selamanya. Kami memiliki hubungan yang hebat di dalam dan di luar lapangan. Striker yang bermain dengan saya, dia memiliki kemampuan terbaik untuk mencetak gol,” kata Costa seperti dikutip 90min.
Musim pertama Costa sukses secara individu, tapi gagal secara tim karena Fiorentina hanya bisa finis di posisi ke-10 Serie A.
Barulah pada musim keduanya, dia berhasil membawa Fiorentina finis di posisi ke-4 Serie A dan menjadi juara Coppa Italia. Itu adalah trofi major pertama klub sejak Coppa Italia musim 1974-75.
Sayangnya, terlepas dari performa brilian duet Costa-Batigol, Fiorentina hanya bisa finis di posisi ke-9 pada musim berikutnya dan berakhir dengan pemecatan pelatih Claudio Ranieri.
Fiorentina benar-benar menjadi penantang gelar Serie A saat Giovanni Trapattoni ditunjuk sebagai pelatih pada musim 1998-99.
Mr Trap yang dikenal sebagai pelatih dengan taktik bertahan memainkan formasi 3-4-1-2 dengan peran Costa sebagai trequartista sangat menonjol dengan Batistuta dan penyerang Brasil, Edmundo di depannya.
La Viola berada di puncak klaseman selama paruh musim pertama. Namun mimpi buruk terjadi pada giornata ke-20 pada laga melawan AC Milan. Batistuta menderita cedera lutut sampai menangis di tengah lapangan.
Setelah itu Costa dkk kesulitan dan performa mereka terjun bebas sampai akhirnya hanya bisa finis di posisi ketiga.
Memasuki Millenium baru, Fiorentina mulai memiliki masalah yang sama dengan klub lama Costa Benfica, masalah finansial. Mereka akhirnya menjual Batistuta pada tahun 2000 ke AS Roma yang juga sudah mulai gerah karena La Viola terus gagal meraih Scudetto.
Tapi Rui Costa tak kehilangan tajinya, pada musim 2000-01, dia justru menemukan duet baru bersama Enrico Chiesa. Bersama pelatih muda, Roberto Mancini, La Viola tetap berkutat di papan tengah, namun mereka berhasil juara Coppa Italia. Costa berhasil mencatatkan 8 gol dan 11 assist.
Namun, hasil itu tak membuat finansial Fiorentina membaik. Mereka akhirnya terpaksa menjual beberapa bintangnya dan Costa dijual ke AC Milan dengan harga fantastis 40 juta euro, yang saat itu menjadikannya sebagai pemain termahal I Rossoneri.
The Prince of Florence, Pangeran Firenze, mengakhiri 7 tahun kariernya di Fiorentina dengan mencetak 50 gol dan 22 assist dari 277 pertandingan, meraih dua Coppa Italia dan Piala Super Italia.
“Saya tidak bermain untuk klub, tetapi untuk kota ini. Firenze harus menjadi bagian dari saya,” kata Costa seperti dikutip showsport.
Fiorentina sendiri dinyatakan bangkrut setahun setelah Costa pergi ke Milan dan memulai kembali dari Serie C2.
Meraih Banyak Gelar di AC Milan dan Kembali ke Benfica
Dengan AC Milan, Rui Costa punya peluang untuk meraih gelar prestisius, dan itu terbukti. Dia berhasil meraih gelar Liga Champions pada 2002-03 dan Serie A pada musim 2003-04.
Uniknya, peran Costa justru lebih bermain ke dalam, apalagi setelah Milan merekrut Kaka pada 2003. Itulah mengapa jumlah assist-nya jauh melampaui jumlah golnya di 5 tahun kariernya bersama I Rossoneri, 11 gol, 47 assist dari 192 laga menurut transfermarkt.
“Begitu AC Milan mengalir melalui pembuluh darah Anda, itu akan mengalir selamanya dalam darah Anda,” kutipan Costa yang akan selalu dikenang para fans Milan.
Saat fans Fiorentina menyebut Costa “Prince of Florence“, fans AC Milan memanggil Costa “Il Maestro“.
Selain dari faktor usia, adanya Andrea Pirlo dan Kaka di AC Milan membuat jam bermain Costa lebih terbatas ketimbang saat di Fiorentina. Dia kembali ke klub yang membesarkannya, Benfica pada 2006 dan pensiun di sana dua tahun kemudian.
Generasi Emas Portugal yang Gagal
Bagaimana karier Rui Costa bersama timnas Portugal? Costa merupakan bagian dari generasi emas Portugal bersama Luis Figo dan Joao Pinto.
Dia membawa Portugal masuk ke babak perempat final Euro 1996, semifinal Euro 2000. Tapi dia gagal di Piala Dunia dengan gagal lolos ke Piala Dunia 1998 dan gagal lolos babak grup di Piala Dunia 2000.
Tapi tentu saja yang menyakitkan adalah Euro 2004. Portugal berlaku sebagai tuan rumah dan kini mereka diisi oleh banyak pemain Porto yang baru saja berhasil menjadi juara Liga Champions, dan tentu saja bintang muda Cristiano Ronaldo.
Costa berhasil mencetak dua gol di kompetisi itu, termasuk gol penting di babak semifinal melawan Inggris. Tapi mereka secara mengejutkan harus kalah dari Yunani di partai final.
Itu adalah laga terakhir Costa bersama Portugal. Dia total mencatatkan 94 caps untuk Selecao das Quinas dan mencetak 26 gol.
“Merupakan kehormatan besar untuk bermain selama bertahun-tahun untuk negara saya, saya merindukan para pemain ini, karena saya telah menghabiskan lebih dari 13 tahun memberikan yang terbaik untuk negara saya,” ujarnya seperti dikutip UEFA.