LEGENDA: Paul Breitner, Pemberontak yang Jadi Lokomotif Perubahan

BACA JUGA

Banner Gamespool

Football5Star.com, Indonesia – Final Piala Dunia 1974 di Stadion Olimpiade, Munich, adalah salah satu momen indah bagi sepak bola Jerman. Timnas Jerman tampil sebagai juara dengan mengalahkan Belanda 2-1. Dua gol Die Mannschaft dicetak Paul Breitner dan Gerd Mueller, sedangkan satu gol Belanda dijaringkan Johan Neeskens.

Dari ketiga gol di final Piala Dunia 1974 itu, hanya dua yang kerap diperbincangkan. Pertama, gol penalti Johan Neeskens yang tercipta pada menit ke-2 saat bola belum sekali pun dikuasai pemain Jerman Barat. Kedua, tentu saja gol penentu kemenangan dari Mueller yang dibuat sambil memutar badan.

Padahal, gol Breitner sangat menentukan. Memang benar, gol itu hanya dibuat dari eksekusi penalti. Namun, ada beban berat yang dipikul Breitner untuk mengeksekusinya. Dia harus berhasil jika ingin membalikkan keadaan. Luar biasanya, dia kala itu baru berumur 23 tahun.

Paul Breitner mencetak gol penyama kedudukan pada final Piala Dunia 1974.
Getty Images

“Kami tak menentukan eksekutor penalti dan saya adalah sosok terakhir atau kedua terakhir yang akan dipilih,” urai Paul Breitner seperti dikutip Football5Star.com dari buku Goal! “Namun, saya tahu tak ada seorang pun yang mau mengambil tanggung jawab itu.”

Dalam situasi seperti itu, Breitner merasa ada panggilan dari dalam jiwanya. “Saya berkata kepada diri sendiri, ‘Baiklah, Nak, kamu ingin jadi juara Piala Dunia? Mengambil penalti ini jadi bagiannya. Lakukanlah sekarang. Kamu tendang saja bolanya,'” ujar dia lagi.

Saat hendak mengambil penalti, Breitner sempat dicegah Wolfgang Overath. Namun, dia bergeming. “Dia berkata kepada saya, ‘Paul, Ada apa? Kamu ingin mengambil penalti?’ Saya jawab, ‘Kamu pikir bagaimana, Wolfgang? Aku akan menendangnya. Sekarang, minggirlah!’ Lalu, bola bersarang di jala gawang,” kata dia lagi.

This is Paul Breitner

Gelar juara di Piala Dunia itu melengkapi koleksi trofi yang direbut Paul Breitner pada umur yang masih muda. Sebelumnya, dia sudah menjuarai Bundesliga, DFB Pokal, Piala Champions, dan Piala Eropa.

Di Piala Dunia, dia bahkan sejajar dengan Pele, Vava, dan Zinedine Zidane sebagai pemain yang mencetak gol di dua final. Mengenai hal itu, pemain yang dijuluki Der Afro karena rambut kribonya itu tak terlalu bangga.

“Bagi saya, 1982 tak masuk hitungan. Ketika Anda kalah 1-3 di final Piala Dunia, tak ada yang peduli siapa yang mencetak gol. Hanya penalti pada 1974 yang masuk hitungan, satu gol lagi tak ada artinya bagi saya,” kata dia kepada 51 Magazin saat berulang tahun ke-70.

Paul Breitner Terlalu Vokal

Begitulah Paul Breitner. Dia selalu blak-blakan. Saat tak setuju terhadap sesuatu, dia akan lantang menyuarakan itu. Sikap jujur dan vokal itu membuat pria kelahiran Kolbermoor itu dicap sebagai pemberontak. Soal prinsip, setelah pensiun, dia bahkan sempat tak bertegur sapa selama bertahun-tahun dengan sahabatnya, Uli Hoeness.

Sikap tersebut tercermin pula dalam penampilannya. Cambang lebat dan rambut kribo yang dibiarkan panjang membuat dia lebih terlihat sebagai aktivis atau bahkan pemberontak ketimbang seorang pesepak bola. Bagi Breitner, itu adalah bagian dari kebebasannya sebagai manusia.

“Dia memang kontradiktif, tapi selalu konsisten,” ujar Hildegard, sang istri, kepada Prisma. “Dia itu betul-betul orang yang jujur dan kejujuran itu selalu menyakitkan. Itu juga bukan sesuatu yang mudah bagi saya.”

Paul Breitner adalah sosok vokal dan cenderung berhaluan politik kiri.
welt.de

Melengkapi tampang dan sikapnya, Breitner juga tak ragu menunjukkan kecenderungan berhaluan politik kiri. Pada umur 20 tahun, dalam wawancara dengan Die Zeit, dia tanpa ragu menyebut Mao Zedong sebagai tokoh idolanya, (Karl) Marx sebagai buku yamg sedang dibacanya, dan AS kalah di Vietnam sebagai harapannya.

Menurut Breitner, kecenderungan berhaluan politik kiri bukan tanpa sebab. “Saat saya berumur 16 tahun, Che Guevara meninggal dan itu sangat berdampak kepada saya. Itu adalah tahap sangat penting dalam perkembangan saya,” kata dia seperti dikutip ESPN.

Sikap keras kepala dan vokal jadi sebab Breitner pindah dari Bayern Munich selepas Piala Dunia 1974. Namun, pandangan politiknya sempat jadi rintangan besar saat hendak bergabung dengan Real Madrid. Dia tak disukai beberapa direktur Los Blancos.

“Miljanic menempatkan saya di daftar teratas pemain yang ingin direkrutnya untuk Madrid. Saat itu, beberapa direktur klub terang-terangan menolak. ‘Anda menginginkan komunis ini? Tuan Miljanic, Anda meminta kami mengontrak seorang Maois? Itu tak bisa dilakukan,'” urai Breitner mengungkapkan kisahnya kepada El Pais.

Paul Breitner sempat ditolak beberapa direktur Real Madrid.
as.com

Resistensi sebagian direktur Madrid bukan hanya itu. Mereka juga mempersoalkan posisi Breitner yang hanya bek kiri. Mereka menegaskan, Madrid tak pernah membeli seorang fullback. Toh, Miljanic bergeming. Pelatih asal Yugoslavia itu mengatakan siap mencoret semua pemain di daftarnya kecuali Breitner.

Miljanic dengan berapi-api memberikan jawaban sesuai hasil pengamatannya dalam beberapa pertandingan Yugoslavia lawan Jerman. “Anda tak tahu apa-apa! Saya sudah melihat dia di tim U-21 dan dia itu bermain sebagai gelandang serang,” kata dia dengan sengit.

Lokomotif Perubahan

Pada akhirnya, Bernabeu menengahi pertengkaran. “Tenang, Tuan Miljanic. Apakah Anda punya teman di Jerman? Kami tak tahu Breitner secara pribadi. Saya tak peduli apakah dia itu seorang komunis atau fullback. Saya tertarik mengetahui seperti apa orang ini,” ucap sang presiden.

Miljanic menjawab, “Don Santiago, di Jerman, mereka mengatakan bahwa dia ini bukan orang yang mudah. Namun, itu karena dialah satu-satunya pemain di Bayern yang bisa mengatakan tidak atau mengapa kepada presiden atau pelatih Bayern.”

Paul Breitner pun akhirnya sah menjadi pemain Real Madrid. Datang saat Los Blancos kalah pamor dari Barcelona, misi yang diembannya sangat jelas. Dia harus menjadi lokomotif perubahan. Jika di Bayern jadi bagian generasi emas, dia jadi sosok utama dalam peremajaan tim.

Paul Breitner [Best Skills and Goals]

“Bernabeu berkata kepada saya, ‘Paul, kamu tahu kami punya tim yang sangat tua. Kami ingin membangun tim baru di sekelilingmu. Saya punya permintaan: Musim pertama, finis 10 poin di belakang Barca, lalu 5 poin pada musim kedua, dan pada musim ketiga, kita harus mengejar gelar,'” kisah Breitner lagi.

Der Afro ternyata langsung moncer. Tak perlu menunggu musim ketiga, gelar juara LaLiga langsung diraih Madrid pada musim pertamanya. “Apa yang kemudian terjadi? Pada musim pertama, kami juara dengan unggul 12 poin atas (Real) Zaragoza dan 13 poin dari Barcelona. Pada musim kedua, kami unggul 5 poin!” ucap Breitner lagi.

Misi yang sama juga diembannya saat kembali ke Bayern pada 1978 setelah semusim di Eintracht Braunschweig. Die Roten tengah dalam masa transisi sepeninggal generasi emas Franz Beckenbauer cs. Kepada Bild, dia mengungkapkan, “Saat itu, Bayern tengah bertekuk lutut dan hampir ‘selesai’.”

Tak seperti di Madrid, Breitner baru mampu mengemuka saat dipercaya sebagai kapten pada 1979-80 di bawah pelatih Pal Csernai. Musim itu jugalah duetnya dengan Karl-Heinz Rummenigge mulai mencuat. Die Roten betul-betul sangat bergantung pada dua sosok ini sampai-sampai muncul sebutan FC Breitnigge.

Paul Breitner membentuk duet apik dengan Karl-Heinz Rummenigge di bawah asuhan Pal csernai.
Getty Images

Jauh sebelumnya, Paul Breitner melakukan revolusi di posisi bek kiri. Seperti dikatakan Miljanic, posisi asli Breitner memang gelandang. Posisi itulah yang kembali ditempatinya sejak membela Madrid hingga pensiun pada 1982. Adapun posisi bek kiri baru ditempati pada 1971.

“Hingga Februari atau Maret 1971, saya sama sekali tak mampu, tak tahu, bahkan tak ingin jadi bek. Itu terjadi secara tiba-tiba. Sebelum laga lawan Hannover, kami kehilangan dua atau tiga pemain dan pelatih kala itu, Udo Lattek, bertanya apakah saya mau membantu tim dengan main sebagai bek kiri. Jadilah saya main untuk kali pertama sebagai bek,” kata Breitner.

Main di posisi baru, Paul Breitner memberikan interpretasi baru. Jika sebelumnya bek kiri hanya berfungsi mengawal salah satu pemain lawan, dia tak ragu ikut merangsek ke depan saat tim melakukan serangan. Hal ini membuat Lattek terkesan dan lantas terus menempatkan sang pemain di posisi tersebut.

Sepanjang kariernya, Paul Breitner meraih 13 trofi. Dia juara Piala Dunia 1974 dan Piala Eropa 1972 bersama Die Mannschaft, lalu dua kali juara Liga Spanyol dan sekali juara Copa del Rey bersama Los Blancos. Adapun bersama Die Roten, dia 5 kali juara Bundesliga, 2 kali juara DFB Pokal, dan 1 kali juara Piala Champions.

More From Author

Berita Terbaru