[KOLOM] Apa Sudah Saatnya Berhenti Cintai Sepak Bola Indonesia?

BACA JUGA

Football5Star.com, Indonesia – Sabtu, 1 Oktober 2022 malam, ternyata awan kelabu sedang memayungi langit Kepanjen, Kabupaten Malang. Sepak bola Indonesia berada di titik nadir, suporter yang seyogyanya acap dibangga-banggakan ke dunia internasional, harus meregang nyawa.

Ada yang bilang, kita harus mencintai sepak bola Indonesia, sekalipun kusut. Tapi, rasanya kejadian di Stadion Kanjuruhan, menjadi patah hati terdalam buat pencinta sepak bola Indonesia. Siapa yang mau merelakan waktunya, mengeluarkan uangnya hanya untuk mengantar nyawa di stadion?

Entah apa yang dirasakan ratusan suporter yang mengembuskan napas terakhirnya di tempat paling dicintainya, stadion. Panik, sesak, berhimpitan, panas, itulah yang mereka rasakan sebelum akhirnya Tuhan memanggil.

{Kolom} Apa Sudah Saatnya Berhenti Cintai Sepak Bola Indonesia?
Istimewa

Hati ini kian terasa sesak ketika membaca banyak korban meninggal dunia di bawah umur. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) ada 17 anak yang meninggal dalam tragedi Kanjuruhan.

Bahkan, dari ratusan korban itu, terselip satu balita berusia 2 tahun, 10 hari yang juga harus berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Sulit rasanya menggambarkan perasaan sang ibu yang awalnya ingin memperkenalkan sepak bola kepada buah hati, tapi malah kehilangan untuk selama-lamanya.

Puncak Masalah Sepak Bola Indonesia?

Merunut akar masalah, tampaknya ini bak bola salju yang pecah menghantam batu di bawahnya. Dari masalah jam pertandingan yang sedari awal Liga 1 diprotes oleh suporter terlalu malam, hingga penggunaan gas air mata dari pihak keamanan.

Kerusuhan Arema FC vs Persebaya Tragedi Terbesar Kedua di Dunia (Antara Ari Bowo Sucipto)
Antara/Ari Bowo Sucipto

Pertandingan antara Arema vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan sebenarnya sudah diusulkan main sore hari oleh pihak kepolisian dan Panpel. Alasannya, pertarungan yang dihelat pukul 20:00 WIB akan sangat beresiko dari segi keamanan psikologis suporter. Tetapi, usulan tersebut nyatanya ditolak PT Liga Indonesia Baru demi alasan rating TV. Klise, tapi inilah yang terjadi sejak awal suporter melancarkan protes kepada operator. Jawabannya selalu sama.

Lalu yang tak habis pikir lagi penggunaan gas air mata. Betul, pihak keamanan bermaksud untuk membubarkan suporter yang mulai turun. Betul pula, suporter yang turun ke lapangan salah besar. Namun, apakah penggunaan gas air mata itu tepat?

Suporter itu, ketika masuk stadion di mana pun, jangankan bawa senjata tajam atau senjata api, bawa korek saja tak boleh. Suporter pun minum saja harus dengan plastik lantaran botol dilarang masuk. Lantas, apa yang berbahaya dari suporter yang tak mempersenjatai dirinya?

{Kolom} Apa Sudah Saatnya Berhenti Cintai Sepak Bola Indonesia?
Ari Bowo Sucipto/Antara

Lagi pula, FIFA pun dengan tegas melarang penggunaan gas air mata di stadion. Hal itu tertulis di pasal 19 b tentang petugas penjaga keamanan lapangan (Pitchside stewards), yang berbunyi, “No firearms or ‘crowd control gas’ shall be carried or used (senjata api atau ‘gas pengendali massa’ tidak boleh dibawa atau digunakan).

Beberapa kali pun kejadian serupa sempat terjadi pada masa lalu. Gas air mata juga menjadi biang kerok tragedi di Peru pada 1964. Kala itu Peru menjamu Argentina. Situasinya nyaris sama, suporter masuk ke lapangan akibat keputusan wasit, lalu direspons tembakan gas air mata ke kerumunan. Sebanyak 328 jiwa melayang saat itu, paling mengerikan dalam sejarah sepak bola dunia.

Lantas kini, siapa yang harus disalahkan? Siapa yang mau bertanggung jawab? Sepak bola Indonesia mungkin akan kembali normal, entah hitungan bulan atau tahun. Namun, ibu, ayah, anak, suami, istri, yang kehilangan orang tercintanya akan tetap ingat tragedi di Kanjuruhan. Sulit pula rasanya mengembalikan kepercayaan kampanye stadion ramah anak. Orang tua mana yang kini tak khawatir mengizinkan atau membawa buah hatinya ke stadion? Apakah sudah saatnya berhenti mencintai sepak bola Indonesia?

More From Author

Berita Terbaru