[KOLOM] Persib Bandung Menuju Eksklusivitas?

BACA JUGA

Football5Star.com, Indonesia – Persib nu aing! Itulah slogan yang kerap diungkapkan bobotoh Persib Bandung. Kata-kata itu menunjukkan kecintaan dan rasa memiliki yang luar biasa dari mereka kepada Pangeran Biru.

Selama berpuluh-puluh tahun, Persib memang sudah jadi kebanggaan orang Sunda dan masyarakat Jawa Barat. Budayawan Taufik Faturohman bahkan menyebut Persib sebagai satu dari tiga ikon orang Sunda.

Kecintaan orang Sunda dan masyarakat Jawa Barat kepada Persib sangat mengakar. Kecintaan itu diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Kakeknya bobotoh, bapaknya bobotoh, anaknya bobotoh, cucunya juga pasti bobotoh.

Orang-orang yang menjadi bobotoh pun berasal dari berbagai kalangan, dari kuricak hingga menak. Meskipun berbasis di Bandung, Persib juga bukan melulu jadi milik orang Bandung.

Perubahan Orientasi Persib Bandung

Akan tetapi, saat ini ada indikasi manajemen Persib menginginkan eksklusivitas. Dalam mendorong Persib menjadi klub modern, mereka menginginkan bobotoh yang lebih eksklusif dengan kriteria-kreiteria tertentu. Sebutlah, mereka ingin mendapatkan bobotoh yang juga modern.

Sejak musim lalu, upaya segregasi terhadap bobotoh mulai terasa. Musim ini, hal itu kian terasa lagi lewat kenaikan harga tiket. Untuk Liga 1 2023-24, tiket termurah adalah Rp125.000. Itu naik Rp25.000 dari musim sebelumnya.

Kenaikan harga tiket adalah cara Persib Bandung menyeleksi alam bobotohnya.
Instagram @officialpvc

Kenaikan itu bisa dipandang sebagai langkah menyaring bobotoh. Asumsinya, harga tersebut akan sulit dijangkau oleh bobotoh rujit yang kerap berulah dan tak sesuai visi menuju klub modern.

Lalu, manajemen tak memberikan perlakuan khusus kepada komunitas. Mereka tak lagi mengakomodasi pembelian tiket kolektif. Komunitas tetap mendapat jatah tiket, tapi pembeliannya tetap harus dilakukan secara pribadi seperti yang dilakukan bobotoh nonkomunitas.

Seleksi Alam

Indikasi Persib menginginkan bobotoh yang lebih eksklusif dan modern itu diperkuat oleh pernyataan Deputi CEO PT PBB, Teddy Tjahjono, dalam gelar wicara Ngobat di channel YouTube milik salah satu inohong Sunda, Budi Dalton. Pada bagian akhir, ada satu pernyataan yang mengarah ke sana.

“Pada akhirnya, ya dengan perjalanan panjang bertemu teman-teman komunitas semua, terjadi seleksi alam. Seperti pertemanan, teman-teman yang sepemahaman, sejalan, sefrekuensi ingin membuat persib lebih baik, pada akhirnya menjadi berteman,” kata Teddy.

🔴 LIVE │NGOBAT 248 - NGOMONGKEUN PERSIB

Lewat pernyataan itu, Teddy menyiratkan Persib hanya akan merangkul bobotoh yang memiliki satu visi dengan manajemen dan menuruti semua prosedur dan ketentuan yang dibuat oleh mereka.

Adapun mereka yang rungsing, tak satu visi, susah diatur, sering protes ini dan itu, apalagi sering berulah, silakan menepi. Bobotoh rujit seperti itu sama sekali tak mereka inginkan.

Persib Nu PT PBB

Tentu saja, langkah menyeleksi bobotoh itu sah-sah saja dilakukan manajemen, dalam hal ini PT PBB. Betul seperti dikatakan Eko Noer Kristiyanto atau Eko Maung di channel YouTube Bobotoh TV, Mamprang TV!, slogan Persib nu aing sudah tidak relevan lagi.

Menurut Eko, Persib nu aing pada masa lalu relevan karena Persib Bandung kala itu adalah klub perserikatan yang didanai pemerintah daerah melalui APBD. Artinya, rasa memiliki yang dirasakan bobotoh memang berdasar.

PERSIB bukan lagi Nu AING, komo Nu Maraneh!

Akan tetapi, sejak 2009, Persib nu aing tak lagi tepat karena Persib sudah jadi milik PT PBB. Pada titik ini, keterikatan warga Jawa Barat terhadap Maung Bandung secara hukum sudah terputus.

Sebagai pemilik, PT PBB bisa melakukan apa pun di Persib. Mengusung visi membangun klub sepak bola modern, mereka ingin memodernisasi sesmuanya. Tak terkecuali bobotoh.

Kompromi dan Komunikasi

Langkah seleksi alam terhadap bobotoh pun bisa dipahami. PT PBB sering dirugikan oleh ulah mereka. Musim lalu, dari total Rp620 juta denda yang dijatuhkan PSSI, sebanyak Rp470 juta adalah akibat ulah bobotoh. Dari penyalaan flare hingga spanduk bernada rasialisme.

Mungkin manajemen Maung Bandung sudah muak akan hal ini. Mereka berpikir harus menyingkirkan bobotoh rujit seperti itu. Eksklusivitas jadi kata kuncinya. Persib hanya untuk mereka yang patuh, santun, terdidik, dan tentu berdaya beli tinggi. Itulah bobotoh modern.

(EPS 45) DRAMA AWAL MUSIM | FRONTLINE BOYS PODCAST

Meskipun demikian, PT PBB tetap saja tidak bisa bersikap arogan. Apalagi, sampai berseberangan dengan komunitas-komunitas bobotoh. Pintu kompromi, terutama komunikasi, tetap harus dibuka selebar-lebarnya.

Bagaimanapun, Persib tak bisa melepaskan diri dari kelompok-kelompok suporter. Selama ini, merekalah yang membangun atmosfer luar biasa di stadion guna mendongkrak semangat tim dan mengintimidasi lawan.

Persuasi Bukan Seleksi

Saat ini, seperti diutarakan Ketua Viking Persib Club, Tobias Ginanjar, pintu komunikasi itu sama sekali tertutup. Bahkan, untuk tahun ini, manajemen Persib Bandung tak memberikan ucapan selamat kepada VPC yang berulang tahun ke-30.

Jika benar demikian, itu bukanlah langkah yang tepat dan bijak dari PT PBB. Patut diingat, komunikasi adalah kunci untuk menemukan solusi terbaik. Tentu saja, mereka juga harus mau mendengar masukan dari komunitas.

Stadion GBLA dipastikan lengang saat Persib Bandung menjamu Dewa United karena boikot Viking.
Instagram @officialvpc

Salah besar bila komunikasi hanya dijalin dengan mereka yang satu visi. Komunikasi justru paling penting dilakukan dengan mereka yang berseberangan. Bagaimana bisa membuat mereka memahami dan mengikuti visi yang diusung jika tak pernah diajak bicara?

Lagi pula, jika dalihnya demi Persib yang lebih baik, bobotoh mana pun tak akan menentang. Soal cara menuju ke sana, manajemen lebih baik melakukan edukasi dan persuasi, bukan malah potong kompas dengan melakukan “seleksi”. Perlu diingat pula, meskipun tak lagi relevan, Persib nu aing tetaplah sebuah legacy.

More From Author

Berita Terbaru