{Kolom} Ribut-Ribut Pemain Naturalisasi (Lagi), Enggak Capek?

BACA JUGA

Football5Star.net, Indonesia – Belakangan jagat maya diramaikan dengan keributan soal pemain naturalisasi yang membela timnas Indonesia. Ini adalah seri kesekian suporter Indonesia terbelah jadi dua kubu, pro dan kontra sejak beberapa bulan terakhir.

Menaturalisasi pemain untuk membela sebuah tim nasional sebenarnya sah-sah saja. FIFA pun tak melarang akan hal itu. Hanya saja, FIFA mensyaratkan adanya semacam hubungan antara pemain dan negara menerima naturalisasi untuk tujuan sepak bola.

FIFA membolehkan suatu negara menaturalisasi pemain untuk membela tim nasional, dengan empat syarat. Pertama si pemain lahir di negara yang bersangkutan, lalu, ibu atau ayah pemain lahir di negara tersebut meski sempat tinggal di luar negeri. Ketiga, nenek atau kakek kandungnya lahir di negara terkait. Yang terakhir adalah pemain tersebut pernah tinggal selama lima tahun saat usianya mencapai 18 tahun.

Laporan Ozren Podnar dari Soccerphile, menyebut ini bukanlah tren baru dan memang praktik pemain naturalisasi memiliki sejarah panjang. Timnas Jerman sebelum perang, menyerap pemain Austria terbaik setelah Anschluss dan memaksa pemain Polandia, Ernst Wilimowski untuk bergabung dengan timnya selama pendudukan Polandia.

Ribut-Ribut Pemain Naturalisasi (Lagi), Enggak Capek?
ESPN

Dalam persiapan untuk Piala Dunia 1934, Italia pun menaturalisasi beberapa “oriundi” luar biasa, orang Amerika Selatan keturunan Italia. Orsi, Monti, Demaria, dan Guaita bermain untuk Azzurri dan memenangkan gelar juara dunia melawan Republik Cheska.

Lalu dapatkan kamu membayangkan timnas Prancis bisa sukses tanpa pemain Afrika seperti Zidane (Aljazair), Vieira (Senegal) atau Desailly (Ghana), bala bantuan Amerika seperti Thuram dan Henry (Guadalupe) atau pemain dari Oseania seperti Karembeu (Kaledonia Baru)?

Pemain Naturalisasi Tak Punya Nasionalisme?

Nah tak sedikit pula yang khawatir, pemain naturalisasi meski statusnya keturunan, tak memiliki rasa nasionalisme. Betul, batin orang siapa yang tahu? Tapi, yakinlah, ketika para pemain tersebut rela melepaskan paspor lamanya demi Indonesia pastinya memiliki kedekatan emosional tersendiri. Statuta FIFA yang membatasi maksimal keturunan kedua bisa dinaturalisasi langsung pun salah satu tujuannya ini.

“Aku ingat persis ketika kami akan berjalan masuk ke lapangan dan melihat pemain Brasil. Lantas aku berpikir mereka tidak mungkin bisa menang karena mereka hanya 11 sedangkan kami ada jutaan,” kata Lilian Thuram kepada BBC ketika ditanya apa resep mengalahkan Brasil pada final Piala Dunia 1998 via Panditfootball.

Ribut-Ribut Pemain Naturalisasi (Lagi), Enggak Capek?
Getty

Ucapan Thuram itu mengacu kepada banyaknya pendukung Prancis pada final Piala Dunia 1998. Sebab, Prancis menyatukan keberagaman karena pemainnya berasal dari berbagai bangsa, yakni Afrika, Arab, Pasifik, dan Eropa Timur.

Seharusnya memang begitu. Tapi jangan pula mendewakan pemain keturunan jadi mengerdilkan pemain lokal asli, menjelek-jelekkan kompetisi negeri sendiri. Dianggap tak berkualitaslah, buruklah, banyak kecuranganlah. Faktanya di antara pemain naturalisasi, terselip dua nama yang menonjol di timnas Indonesia, yakni Rizky Ridho dan Witan Sulaeman yang berkarier di Liga 1.

Rizky Ridho bahkan jadi pemain mencolok saat Indonesia tahan imbang Australia. Dikutip Lapangbola, dia berhasil melakukan 9 tekel, tiga intersep, 7 sapuan bola, dan dua kali blok. Witan pun mendapatkan banyak pujian dari suporter timnas Indonesia ketika hadapi Arab Saudi karena kecerdasannya.

Ribut-Ribut Pemain Naturalisasi (Lagi), Enggak Capek?
PSSI

Pernyataan Mantan Dubes RI untuk Polandia, Peter Gontha yang kritik pemain naturalisasi tak punya nasionalisme pun seharusnya dicueki saja. Toh itu kan cuma pendapat, yang menunjukkan kegelisahan pribadinya saja. Jangan malah membelah suporter jadi dua kubu untuk perdebatan tak berujung yang bahkan sudah tiga hari semenjak pernyataan tersebut diunggah di media sosial pribadi Peter Gontha, masih jadi polemik.

Lagipula, PSSI pun seharusnya bukan malah ikut meramaikan perdebatan. Justru ini bisa jadi kesempatan buat PSSI untuk menunjukkan apa yang sudah mereka lakukan dalam pembinaan untuk pemain muda Indonesia. Mereka tinggal tunjukkan saja apa-apa yang sudah dilakukan. Salah satu contohnya akan menggulirkan Elite Pro Academy lagi pada musim 2024-25 dengan tiga kelompok umur yakni U-16, U-18, dan U-20.

Toh banyak pemain timnas Indonesia saat ini yang merupakan jebolan EPA, seperti Marselino Ferdinan, Rizky Ridho, Muhammad Ferarri, hingga Ernando Ari. PSSI pun sudah berusaha meningkatkan kualitas Liga 1 dimulai dengan wasit asing, hingga hadirnya teknologi Video Assitant Referee (VAR). Hal-hal inilah yang harusnya ditunjukkan PSSI soal upaya melakukan pembinaan untuk regenerasi timnas Indonesia, bukannya malah ikut larut dalam perdebatan, dan menyiram bensin.

Sudahi sajalah perdebatan ini, soal nasionalisme nanti juga waktu akan bicara. Mereka pun sudah buktikan main sepenuh hati dengan bangganya bersama timnas Indonesia. Jangan pakai kacamata kuda terus!

More From Author

Berita Terbaru